Für Simoncelli hatte das Manöver Folgen: er bekam eine Durchfahrtsstrafe und verlor damit den vermeintlichen Podestplatz.

Adegan action Simoncelli di race lalu memang sangat mengejutkan. Saat mengerem bersamaan, posisi doi masih lumayan jauh dari Pedrosa, terlebih lagi Pedrosa mengambil line sangat defensif yang menjamin pembalap di belakangnya tidak mungkin nyodok dari dalam dan memaksa si tersodok melebar.

 Manuver Simoncelli yang mengambil dari luar bisa dibilang gila dan menunjukkan kepercayaan dirinya yang sangat besar atas kemampuannya dan motornya. Kalau saja manuver itu berhasil, doi seakan-akan membuat Pedrosa hanyalah pembalap hobby saja yang cornering speednya cupu… Namun, ini Pedrosa bung! Bukan pembalap kemaren sore. Doi di Spanyol adalah simbol keberhasilan Spanyol dengan tradisi balapnya yang sangat didukung pemerintah. Doi adalah pembalap yang digembleng dari usia dini dan menjadi pemecut semangat pemuda Spanyol. Doi sempat bercerita, karena ukuran badannya yang kecil dan tampangnya yang imut, banyak pemuda Spanyol yang jadi semangat, sebab mereka beranggapan, Pedrosa yang sekecil dan seimut itu saja bisa, kenapa kita tidak??!!!

Kembali ke insiden lalu… Simoncelli merasa tidak bersalah dan tidak layak dihukum. Menurutnya, dari data telemetri bisa dilihat, kalau titik pengeremannya tidak berubah! —btw, bukannya kalau mau nyalip harus lihat situasi dan kondisi juga ya???— Pernyataan ini tentu terdengar sangat egois, sebab di sisi lain, bisa saja manuver yang berbahaya itu menghancurkan karier pembalap lainnya. Simoncelli merasa, hukuman yang diterimanya kemarin lebih dikarenakan dirinya yang lagi disoroti terus gaya balapnya yang brutal. Sampeyan masih ingat kan saat Simoncelli membuat Hector Barbera berantakan di straight akibat terhalang dihalangi Simoncelli yang tiba-tiba bergeser ke kiri untuk menghindari Barbera yang motornya lebih cepat di lintasan lurus untuk mencuri angin.

Manuver kemarin bisa dianggap sebuah kesengajaan! Sebagai pembalap, tentu doi tahu, buritan motor jauh lebih kuat dibandingkan front end. Kalau ban depan / setang bersenggolan, di kecepatan tinggi akibatnya sangat fatal, sedangkan bagian belakang motor masih bisa menerima benturan, selama ban depannya tidak terlalu banyak kehilangan kontrol. Contoh lainnya, masih ingat kan ketika Bautista berantakan akibat nyundul Aoyama di Assen 2009? Motor Bautista langsung mental nggak karuan, sedangkan Aoyama yang hancur knalpotnya pun masih bisa lanjut dan memenangkan race.

Kembali ke unsur kesengajaan. Saya pernah membaca komentar-komentar pembalap legendaris macam Doohan, Schwantz, Roberts, Biaggi dsb.nya. Mereka menceritakan tentang kerasnya dunia balap di lintasan (bukan di podium yang semuanya serba sumringah-red). Dulu, teknik memaksa lawan melebar, memepet, menyenggol atau mendadak tutup gas bahkan mengerem ketika lawan menguntit dalam jarak dekat menjadi hal yang bisa saja dijumpai. Sodok-menyodok dan manuver gila bin berbahaya pun sengaja dilakukan beberapa pembalap untuk membentuk image mereka sebagai pembalap bengis, gila, tak kenal ampun dan akan menyodok kalau ada beberapa cm terbuka.

Dengan image seperti itu, pembalap yang sedang dogfight alias duel pun jadi sangat waspada dan berdebar-debar. Mereka akan berusaha menutup ruang untuk sodok menyodok. Apa konsekuensinya? Mudah saja… Kalau berusaha menutup semua pintu masuk untuk sodok menyodok, pembalap yang bertahan itu racinglinenya akan berubah dan dijamin tidak mengambil racing line untuk mendapatkan  lap time yang maksimal. Belum lagi mesin, rem dan ban yang lebih terforsir sehingga cepat habis. Padahal si agresor dengan image “jahatnya” itu cukup menempel saja dan tidak memforsir motornya. Ketika si pembalap korban itu sudah kelelahan secara mental, fisik dan motor, baru deh disikat menjelang akhir race. Gaya defensif pun bisa jadi malah mencelakakan si pembalapnya, sebab racing line yang berubah pastinya punya konsekuensi ke tikungan selanjutnya, dijamin kedodoran deh saat berakselerasi keluar tikungan!

Image”jahat”, “gila”, “nggak pake otak” dan “nggak kenal ampun” memang sengaja dibentuk untuk menggedor mental lawan. Misalnya Simoncelli yang sudah berhasil punya image ini akan punya keuntungan di hari depannya nanti, apalagi dia diprediksi jadi Juara Dunia di 1000cc nanti! Dengan image itu, pembalap lainnya akan enggan berduel di lintasan dengannya. Ya, daripada ndlosor… ya yang waras ngalah lah… Apalagi kalo lap time mereka tidak sebaik si Simoncelli, ya, usaha mereka untuk mempertahankan posisi akan lebih kendor. Istilahnya ya: pasrah aja lah… daripada nggak dapat poin.

Begitulah saudara-saudaraku yang tersesat kemari… Para pembalap legendaris pun tahu benar hal ini. Rossi adalah salah satu contoh yang punya image “tak kenal ampun”, artinya kalau ada celah, dia sikat… Doi contoh terbaik yang bisa menggabungkan image sebagai predator di sirkuit, tetapi pahlawan dan entertainer di kalangan penggemar balap. Beda dengan Biaggi yang gagal (dibandingkan Rossi-red) jadi seorang idola dan entertainer, doi hanya dikenal sebagai predator. Biaggi sendiri saat terlibat insiden “menyikut Rossi” dulu pernah berkomentar: Balap itu olahraga keras, bukan duduk-duduk di cafe sambil ngobro-ngobrol.